met berkunjung

Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

04 Mei 2010

Vlugge Vier, Parahijangan, dan KA Parahyangan




Artikel Terkait:
Melayang di Jurang Sambil Dengar Kisah Misteri Terowongan Sasaksaat
Naik Lori Berusia Dua Abad
Naik Kereta Uap Keliling Kota
Celestinus Trias HP
Panorama di jalur Jakarta-Bandung yang bisa dinikmati dari atas kereta api.
KAMIS, 22 APRIL 2010 | 10:45 WIB
KOMPAS.com - Beberapa waktu lalu, Pusat Pelestarian Benda dan Aset Bersejarah PT Kereta Api (Persero) mengajak beberapa pihak terkait wisata, termasuk wartawan, untuk melihat betapa berharganya jalur Jakarta-Bandung dan betapa kaya akan sejarah. Divisi tersebut memang memperkenalkan jenis wisata baru, Heritage Railway Trip. Tapi tidak menggunakan KA Parahyangan, melainkan KA Argo Gede dengan tarif Rp 100.000/orang PP.

Jika selama puluhan tahun penumpang kereta Jakarta-Bandung tak sadar bahwa jalur tersebut adalah jalur bersejarah, maka melalui wisata sejarah kereta api itu, PT KA ingin menyadarkan warga pada nilai sejarah jalur tersebut. Meskipun, tentunya, warga yang ingin ber-wisata murah meriah menggunakan KA Parahyangan hanya punya kesempatan hingga sebelum 27 April ini.

Pertengahan abad 19, Bandung masih berupa desa terpencil di pedalaman Tatar Sunda Parahyangan. Padahal kawasan itu adalah penghasil kina dan teh. Transportasi menuju kawasan Bandung yang berkelok-kelok, begitu sulit ditempuh.

Namun dengan dimulainya pembangunan jalur kereta api di Semarang pada 10 Agustus 1867, maka jalur kereta api Batavia-Parahyangan pun ikut dibangun, yaitu pada 16 Mei 1884. Khususnya untuk mengangkut barang, demikian dikisahkan Widoyoko, salah satu anggota Indonesian Railway Preservation Society (IRPS).

Sepuluh tahun kemudian, dibangun pula jalur kereta api Jakarta-Surabaya melalui Bandung. Jalur Jakarta-Bandung menjadi favorit warga Belanda karena pemandangan alam dan hawa yang sejuk. Dari sekadar kota persinggahan, Bandung jadi kota tujuan wisata bahkan tempat tinggal.

Karena menjadi jalur favorit warga Belanda, kereta api yang mengangkut para noni, tuan, mevrouw, dan meneer, pun menggunakan loko uap C28 yang pada saat itu menjadi lokomotif tercepat dengan kecekapatan 90 km/jam.

Pemerintah kolonial mengoperasikan KA Vlugge Vier, yang adalah kereta ekspres Jakarta-Bandung dan sungguh elit di zaman itu. Vlugge Vier sekelas dengan Eendasche Express. Jika Vlugge Vier kemudian menjadi Parahijangan dan kemudian KA Parahyangan, maka Eendashce Express menjadi KA Bima. Nama Parahijangan berubah menjadi KA Parahyangan di awal 1970-an.

Kereta api ini kemudian melanjutkan perjalanan di masa kolonial, melintas sepanjang 151 km. Jalur ini melintasi beberapa pemandangan menarik dan bersejarah. Sebut saja Terowongan Sasaksaat sepanjang 950 m. Terowongan yang dibangun di awal abad 20 ini menembus Bukit Cidepong dan ribuan orang harus tewas dalam kerja rodi tersebut.

Selain itu ada pula jembatan yang dilalui kereta tersebut. Jembatan di lintas Purwakarta hingga Padalarang itu adalah Ciganea, Cisomang, dan Cikubang dengan Sungai Cikubang. Jembatan sepanjang 300 m dengan empat pilar baja seberat sekitar 110 ton menghiasi Jembatan Cikubang.

Demikian pula Jembatan Ciganea dan Cisomang yang panjangnya 220-an meter dan menjulang di ketinggian 72 m. Pastinya sebuah pemandangan cantik sekaligus bersejarah, bahwa di abad 19 Belanda, dengan keringat bangsa ini, sudah mampu membangun jembatan di perbukitan, menghubungkan jurang di antara perbukitan Parahyangan.

Tahun 1995, PT KA meluncurkan KA Argo Gede jurusan Jakarta-Bandung. Kereta ini sebagai kereta eksekutif andalan PT KA. Maka KA Parahyangan pun mulai kembang kempis. Sepuluh tahun kemudian Tol Cipularang beroperasi. Setelah lima tahun tol itu beroperasi akhirnya perjalanan “Vlugge Vier”pun harus berhenti total pada 27 April mendatang.


WARTA KOTA Pradaningrum Mijarto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hubungi via :