met berkunjung

Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

26 November 2010

Cermin

Suamiku kini telah tiada dan penyesalanku yang terus ada. Ini adalah

kisah nyata di kehidupanku.

Seorang suami yang kucintai yang kini telah tiada. Begitu besar

pengorbanan seorang suamiku pada keluargaku. Begitu tulus kasih

sayangnya untukku dan anakku. Suamiku adalah seorang pekerja keras.

Dia membangun segala yang ada di keluarga ini dari nol besar hingga

menjadi seperti saat ini. Sesuatu yang kami rasa sudah lebih dari

cukup.

Aku merasa sangat berdosa ketika teringat suamiku pulang bekerja dan

aku menyambutnya dengan amarah,tak kuberikan secangkir teh hangat

melainkan kuberikan segenggam luapan amarah.

lalu kukatakan pada dia bahwa dia tak peduli padaku, tak mengerti

aku,dan selalu saja sibuk dengan pekerjaannya.

Tapi kini aku tahu. Semua ucapanku selama ini salah.dan hanya menjadi

penyesalanku karena dia telah tiada.

Temannya mengatakan padaku sepeninggal kepergiannya. Bahwa dia selalu

membanggakan aku dan anakku di depan rekan kerjanya.

Dia berkata, “Setiap kali kami ajak dia makan siang, Mas Anwar jarang

sekali ikut kalau tidak penting sekali, alasannya selalu tak jelas.

Dan lain waktu aku sempat menanyakan kenapa dia jarang sekali mau

makan siang, dia menjawab, “aku belum melihat istriku makan siang dan

aku belum melihat anakku minum susu dengan riang, lalu bagaimana aku

bisa makan siang.” Saat itu tertegun, aku salut pada suamimu. Dia

sosok yang sangat sayang pada keluarganya. Suamimu bukan saja orang

yang sangat sayang pada keluarga,tapi suamimu adalah sosok pemimpin

yang hebat. Selalu mampu memberikan solusi-solusi jitu pada

perusahaan.”

Aku menahan air mataku karena aku tak ingin menangis di depan rekan

kerja suamiku. Aku sedih karena saat ini aku sudah kehilangan sosok

yang hebat.

Teringat akan amarahku pada suamiku,aku selalu mengatakan dia selalu

menyibukkan diri pada pekerjaan, tak pernah peduli pada anak kita.

Namun itu semua salah. Sepeninggal suamiku. Aku menemukan

dokumen-dokumen pekerjaannya. Dan aku tak kuasa menahan tangis membaca

di tiap lembar di sebuah buku catatan kecil di tumpukan dokumen itu,

yang salah satunya berbunyi, “Perusahaan kecil CV. Anwar Sejahtera

dibangun atas keringat yang tak pernah kurasa. Kuharap nanti bukan

lagi CV. Anwar Sejahtera, melainkan akan diteruskan oleh putra

kesayanganku dengan nama PT. Syahril Anwar Sejahtera. Maaf nak, ayah

tidak bisa memberikanmu sebuah kasih sayang berupa belaian, tapi

cukuplah ibumu yang memberikan kelembutan kasih sayang secara

langsung. Ayah ingin lakukan seperti ibumu. Tapi kamu adalah

laki-laki. Kamu harus kuat. Dan kamu harus menjadi laki-laki hebat.

Dan ayah rasa,kasih sayang yang lebih tepat ayah berikan adalah kasih

sayang berupa ilmu dan pelajaran. Maaf ayah agak keras padamu nak.

Tapi kamulah laki-laki. Sosok yang akan menjadi pemimpin,sosok yang

harus kuat menahan terpaan angin dari manapun. Dan ayah yakin kamu

dapat menjadi seperti itu.”

Membaca itu,benar-benar baru kusadari, betapa suamiku menyayangi

putraku, betapa dia mempersiapkan masa depan putraku sedari dini.

Betapa dia memikirkan jalan untuk kebaikan anak kita. Setiap suamiku

pulang kerja. Dia selalu mengatakan, “ Ibu capai? Istirahat dulu

saja.”

Dengan kasar kukatakan, “Ya jelas aku capai, semua pekerjaan rumah aku

kerjakan. Urus anak,urus cucian, masak, ayah tahunya ya pulang datang

bersih.Titik.”

Sungguh,bagaimana perasaan suamiku saat itu. Tapi dia hanya diam saja.

Sembari tersenyum dan pergi ke dapur membuat teh atau kopi hangat

sendiri. Padahal kusadari, beban dia sebagai kepala rumah tangga jauh

lebih berat dibanding aku. Pekerjaannya jika salah pasti sering di

maki-maki pelanggan. Tidak kenal panas ataupun hujan dia jalani

pekerjaannya dengan penuh ikhlas.

Suamiku meninggalkanku setelah terkena serangan jantung di ruang

kerjanya, tepat setelah aku menelponnya dan memaki-makinya. Sungguh

aku berdosa. Selama hidupnya tak pernah aku tahu bahwa dia mengidap

penyakit jantung. Hanya setelah sepeninggalnya aku tahu dari

pegawainya yang sering mengantarnya ke klinik spesialis jantung yang

murah di kota kami. Pegawai tersebut bercerita kepadaku bahwa sempat

dia menanyakan pada suamiku. “Pak kenapa cari klinik yang termurah?

Saya rasa bapak bisa berobat di tempat yang lebih mahal dan lebih

memiliki pelayanan yang baik dan standar pengobatan yang lebih baik

pula?”

Dan suamiku menjawab, “ Tak usahlah terlalu mahal. Aku cukup saja aku

ingin tahu seberapa lama aku dapat bertahan. Tidak lebih. Dan aku tak

mau memotong tabungan untuk hari depan anakku dan keluargaku. Aku tak

ingin gara-gara jantungku yang rusak ini mereka menjadi kesusahan. Dan

jangan sampai istriku tahu aku mengidap penyakit jantung. Aku takut

istriku menyayangiku karena iba. Aku ingin rasa sayang yang tulus dan

ikhlas.”

Tuhan..Maafkan hamba Tuhan,hamba tak mampu menjadi istri yang baik.

Hamba tak sempat memberikan rasa sayang yang pantas untuk suami hamba

yang dengan tulus menyayangi keluarga ini. Aku malu pada diriku. Hanya

tangis dan penyesalan yang kini ada.

Saya menulis ini sebagai renungan kita bersama. Agar kesalahan yang

saya lakukan tidak di lakukan oleh wanita-wanita yang lain. Karena

penyesalan yang datang di akhir tak berguna apa-apa. Hanyalah

penyesalan dan tak merubah apa-apa.

Banggalah pada suamimu yang senantiasa meneteskan keringatnya hingga

lupa membasuhnya dan mengering tanpa dia sadari.

Banggalah pada suamimu,karena ucapan itu adalah pemberian yang paling

mudah dan paling indah jika suamimu mendengarnya.

Sambut kepulangannya di rumah dengan senyum dan sapaan hangat. Kecup

keningnya agar dia merasakan ketenangan setelah menahan beban berat di

luar sana.

Sambutlah dengan penuh rasa tulus ikhlas untuk menyayangi suamimu.

Selagi dia kembali dalam keadaan dapat membuka mata lebar-lebar.

Dan bukan kembali sembari memejamkan mata tuk selamanya.

Teruntuk suamiku.

Maafkan aku sayang.

Terlambat sudah kata ini ku ucapkan.

Aku janji pada diriku sendiri teruntukmu.

Putramu ini akan kubesarkan seperti caramu.

Putra kita ini akan menjadi sosok yang sepertimu.

Aku bangga padamu,aku sayang padamu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hubungi via :