Sebenernya Morotai ini masuk pada kabupaten Halmahera Utara,tapi gw coba masukkin ke tag nya Halmahera Selatan aja..Toh sama sama Maluku Utara juga.
Kalau pernah ke Ternate,pasti akrab dengan kerajinan besi putih,seperti cincin atau kalung yang biasa dipakai atau sebagai oleh oleh dari Ternate.
Kerajinan tersebut berasal dari Morotai.
Pulau kecil yang penuh misteri di ujung Maluku atau tepatnya di Kabupaten Maluku Utara
Konon, di pulau ini bersemayam Suku Moro. Pada zaman dahulu, Suku Moro pernah menjelajahi kawasan Maluku. Kini penduduk setempat memandang Suku Moro sebagai sosok-sosok misterius yang bersemayam di dunia lain. Sisi misterius Morotai tak hanya itu. Pada masa Perang Dunia II, kawasan Morotai menjadi lahan pertempuran antara Jepang dan aliansi Amerika Serikat dan Australia.
Setelah Jepang dikalahkan, Amerika Serikat kemudian membangun pangkalan militer di Morotai. Beberapa tempat di Morotai masih menyisakan peninggalan-peninggalan masa perang tersebut. Tak hanya di permukaan tanah. Jika Anda menyelam dan menggali bumi Morotai, bisa dipastikan di beberapa titik lokasi Anda masih bisa menjumpai peralatan perang dari tentara Jepang, Amerika Serikat, ataupun Australia.
Saya menjumpai beberapa pria di Morotai yang menggunakan dog tag, kalung identitas yang biasa dipakai tentara. Mereka memakai dog tag tentara Jepang, Amerika Serikat, dan Australia. Bahkan Firman, warga Morotai, mengalungi ratusan dog tag. Koleksi dog tag miliknya pernah ditawar puluhan juta rupiah oleh seorang warga negara asing. Namun, ia menolak menjual dog tag koleksinya.
Tentara Jepang saat itu berjumlah sekitar 600 orang. Secara jumlah, mereka kalah banyak dengan tentara sekutu yang berjumlah lebih dari 60.000 orang. Belum lagi armada pesawat tempur dan kapal laut yang berseliweran di udara serta laut. Bayangkan, betapa ramainya pulau kecil ini di masa perang. Kini penduduk Morotai berjumlah 50.000 orang. Listrik yang sering padam dan malam hari yang gelap karena minimnya lampu penerangan jalan, Morotai bagai pulau terpencil di antah berantah.
Perang Morotai antara Jepang dan Amerika Serikat-Australia terjadi tahun 1944-1945. Dari pertempuran ini, seorang jenderal legendaris muncul. Ia adalah Douglas MacArthur, jenderal tentara Amerika Serikat. MacArthur adalah otak dari segala pertempuran di Morotai, termasuk penyerangan ke Filipina. Jenderal yang gemar mengisap tembakau dengan cangklong itu berperan besar untuk kemenangan Amerika Serikat dan sekutu atas Perang Dunia II di wilayah Pasifik.
Karena itu, Morotai sangat kaya akan lokasi-lokasi bersejarah yang berhubungan dengan MacArthur. Tak pelak, selain wisata bahari, wisata sejarah pun bisa menjadi tema besar untuk kabupaten yang baru berusia dua tahun ini. Saya pun berkesempatan menapak tilas di beberapa kawasan tempat MacArthur pernah menginjak. Perjalanan saya menuju Morotai dari Tobelo, Halmahera Utara menuju Morotai menggunakan speedboat. Untuk bisa melihat pemandangan yang lebih sempurna, duduk di atap speedboat memang lebih mantap. Laut biru dan gugusan pulau, sebuah panorama yang mencuri hati.
Dari kejauhan, warna biru laut mulai berubah menjadi pasir putih dan hijau nyiur. Pulau Dodola sudah di depan mata. Pulau Dodola sebenarnya terdiri dari dua pulau, yaitu Dodola Besar dan Dodola Kecil. Kedua pulau ini disambungkan dengan pasir putih memanjang. Jika laut pasang, sambungan pasir putih ini pun terputus dan kedua pulau menjadi terpisah. Namun, di kala surut, Dodola Besar dan Dodola Kecil bergabung menjadi Dodola yang memanjang. Pulau cantik dengan pasir putih yang lembut ini masih terjaga keperawanannya. Dulu, MacArthur dan para tentara sering berlibur di pulau ini. Pulau tersebut menjadi favorit tentara sekutu melepas penat dengan berjemur, berenang, dan menyelam.
Perjalanan kemudian menuju Morotai. Hanya perlu waktu sekitar 20 menit untuk mencapai pusat kota Morotai dari Pulau Dodola. Disini ada lapangan udara Pitu Strep, Desa Wawama. Lapangan udara peninggalan sekutu tersebut dahulu memiliki tujuh landasan. Saat ini, landasan yang masih bisa terpakai hanya dua. Satu landasan untuk landasan pacu dan satu lagi untuk apron atau tempat parkir pesawat.
"Pitu Strep dibangun hanya dalam waktu satu bulan," kata Nyoman Oka, anggota TNI AU yang bertugas di Pitu Strep.
Ya, kini Pitu Strep dikelola TNI AU. Para ahli insinyur dari Amerika dibantu penduduk setempat mengerjakan proyek besar ini dalam waktu singkat. Dari landasan udara inilah sejarah tercipta. Strategi lompat katak yang dibangun MacArthur dengan menguasai pulau-pulau karang untuk menembus Filipina membuahkan kemenangan manis. Tak hanya Filipina berhasil ia rebut dari Jepang, MacArthur pun berhasil menembus sampai ke negara Jepang. Pada masa itu, udara Pitu Strep begitu sibuk dengan seliweran lebih dari 200 pesawat tempur. Sekarang, hanya tinggal keheningan di tengah rimbun pepohonan.
Air Kaca menjadi lokasi selanjutnya untuk menapak tilas sosok MacArthur. Di lokasi ini, MacArthur biasa mandi seusai berenang. Tentara-tentara sekutu pun sering berendam di Air Kaca. Pada masa itu, air di area ini sangat bening hingga disebut sebagai air kaca. Terletak di tengah hutan, sebuah ceruk tergenang air bagaikan kolam. Lokasi ini sangat teduh karena ditutupi beberapa pohon rindang yang tinggi. Sayang, air kaca sekarang sudah tak bening lagi. Areal tersebut sudah tidak terawat. Airnya keruh dan semak liar tumbuh bebas. Cerita-cerita rakyat setempat yang mengatakan bahwa air kaca begitu indah pun tinggal kenangan.
Selanjutnya, perjalanan saya tempuh kembali dengan membelah laut. Pulau Zumzum adalah tujuannya. Dari Morotai hanya perlu waktu sekitar 10 menit dengan speedboat. Salah satu alasan saya ingin ke sana adalah karena ingin membuktikan keberadaan patung MacArthur di tengah-tengah pulau. Saat speedboat berlabuh di dermaga kayu nan apik, saya tidak bisa melihat sosok patung tersebut.
Ternyata, untuk mencapai patung MacArthur, pengunjung harus berjalan kaki menembus semak dan pohon rindang. Jalan setapak memang ada, tetapi rimbunan pohon menutupi jalan. Patung MacArthur sebagai penanda bahwa Sang Jenderal pernah bermarkas di pulau tersebut. Di pulau tersebut masih bisa ditemukan bungker pusat komando tentara sekutu.
Selain lokasi-lokasi tersebut, ada beberapa daerah lain yang kental akan peninggalan kisah perang dunia. Bahkan, tak hanya di darat, di bawah laut perairan Morotai pun kaya akan peninggalan sejarah. Tentara Jepang dan sekutu, saat meninggalkan Morotai, membuang persenjataan perang mereka ke laut. Ada pula yang dikubur di bumi Morotai.
Sebagian besar penduduk Morotai kemudian memanfaatkan rongsokan besi-besi peralatan perang untuk aneka kerajinan tangan, seperti aksesoris. Banyak orang yang merasa peninggalan sejarah akan semakin habis karena praktik tersebut. Namun, penduduk Morotai optimistis baru sebagian kecil rongsokan perang yang berhasil ditemukan. Sisanya masih menunggu untuk disingkap dari selimut misteri Pulau Morotai.
Kalau pernah ke Ternate,pasti akrab dengan kerajinan besi putih,seperti cincin atau kalung yang biasa dipakai atau sebagai oleh oleh dari Ternate.
Kerajinan tersebut berasal dari Morotai.
Pulau kecil yang penuh misteri di ujung Maluku atau tepatnya di Kabupaten Maluku Utara
Konon, di pulau ini bersemayam Suku Moro. Pada zaman dahulu, Suku Moro pernah menjelajahi kawasan Maluku. Kini penduduk setempat memandang Suku Moro sebagai sosok-sosok misterius yang bersemayam di dunia lain. Sisi misterius Morotai tak hanya itu. Pada masa Perang Dunia II, kawasan Morotai menjadi lahan pertempuran antara Jepang dan aliansi Amerika Serikat dan Australia.
Setelah Jepang dikalahkan, Amerika Serikat kemudian membangun pangkalan militer di Morotai. Beberapa tempat di Morotai masih menyisakan peninggalan-peninggalan masa perang tersebut. Tak hanya di permukaan tanah. Jika Anda menyelam dan menggali bumi Morotai, bisa dipastikan di beberapa titik lokasi Anda masih bisa menjumpai peralatan perang dari tentara Jepang, Amerika Serikat, ataupun Australia.
Saya menjumpai beberapa pria di Morotai yang menggunakan dog tag, kalung identitas yang biasa dipakai tentara. Mereka memakai dog tag tentara Jepang, Amerika Serikat, dan Australia. Bahkan Firman, warga Morotai, mengalungi ratusan dog tag. Koleksi dog tag miliknya pernah ditawar puluhan juta rupiah oleh seorang warga negara asing. Namun, ia menolak menjual dog tag koleksinya.
Tentara Jepang saat itu berjumlah sekitar 600 orang. Secara jumlah, mereka kalah banyak dengan tentara sekutu yang berjumlah lebih dari 60.000 orang. Belum lagi armada pesawat tempur dan kapal laut yang berseliweran di udara serta laut. Bayangkan, betapa ramainya pulau kecil ini di masa perang. Kini penduduk Morotai berjumlah 50.000 orang. Listrik yang sering padam dan malam hari yang gelap karena minimnya lampu penerangan jalan, Morotai bagai pulau terpencil di antah berantah.
Perang Morotai antara Jepang dan Amerika Serikat-Australia terjadi tahun 1944-1945. Dari pertempuran ini, seorang jenderal legendaris muncul. Ia adalah Douglas MacArthur, jenderal tentara Amerika Serikat. MacArthur adalah otak dari segala pertempuran di Morotai, termasuk penyerangan ke Filipina. Jenderal yang gemar mengisap tembakau dengan cangklong itu berperan besar untuk kemenangan Amerika Serikat dan sekutu atas Perang Dunia II di wilayah Pasifik.
Karena itu, Morotai sangat kaya akan lokasi-lokasi bersejarah yang berhubungan dengan MacArthur. Tak pelak, selain wisata bahari, wisata sejarah pun bisa menjadi tema besar untuk kabupaten yang baru berusia dua tahun ini. Saya pun berkesempatan menapak tilas di beberapa kawasan tempat MacArthur pernah menginjak. Perjalanan saya menuju Morotai dari Tobelo, Halmahera Utara menuju Morotai menggunakan speedboat. Untuk bisa melihat pemandangan yang lebih sempurna, duduk di atap speedboat memang lebih mantap. Laut biru dan gugusan pulau, sebuah panorama yang mencuri hati.
Dari kejauhan, warna biru laut mulai berubah menjadi pasir putih dan hijau nyiur. Pulau Dodola sudah di depan mata. Pulau Dodola sebenarnya terdiri dari dua pulau, yaitu Dodola Besar dan Dodola Kecil. Kedua pulau ini disambungkan dengan pasir putih memanjang. Jika laut pasang, sambungan pasir putih ini pun terputus dan kedua pulau menjadi terpisah. Namun, di kala surut, Dodola Besar dan Dodola Kecil bergabung menjadi Dodola yang memanjang. Pulau cantik dengan pasir putih yang lembut ini masih terjaga keperawanannya. Dulu, MacArthur dan para tentara sering berlibur di pulau ini. Pulau tersebut menjadi favorit tentara sekutu melepas penat dengan berjemur, berenang, dan menyelam.
Perjalanan kemudian menuju Morotai. Hanya perlu waktu sekitar 20 menit untuk mencapai pusat kota Morotai dari Pulau Dodola. Disini ada lapangan udara Pitu Strep, Desa Wawama. Lapangan udara peninggalan sekutu tersebut dahulu memiliki tujuh landasan. Saat ini, landasan yang masih bisa terpakai hanya dua. Satu landasan untuk landasan pacu dan satu lagi untuk apron atau tempat parkir pesawat.
"Pitu Strep dibangun hanya dalam waktu satu bulan," kata Nyoman Oka, anggota TNI AU yang bertugas di Pitu Strep.
Ya, kini Pitu Strep dikelola TNI AU. Para ahli insinyur dari Amerika dibantu penduduk setempat mengerjakan proyek besar ini dalam waktu singkat. Dari landasan udara inilah sejarah tercipta. Strategi lompat katak yang dibangun MacArthur dengan menguasai pulau-pulau karang untuk menembus Filipina membuahkan kemenangan manis. Tak hanya Filipina berhasil ia rebut dari Jepang, MacArthur pun berhasil menembus sampai ke negara Jepang. Pada masa itu, udara Pitu Strep begitu sibuk dengan seliweran lebih dari 200 pesawat tempur. Sekarang, hanya tinggal keheningan di tengah rimbun pepohonan.
Air Kaca menjadi lokasi selanjutnya untuk menapak tilas sosok MacArthur. Di lokasi ini, MacArthur biasa mandi seusai berenang. Tentara-tentara sekutu pun sering berendam di Air Kaca. Pada masa itu, air di area ini sangat bening hingga disebut sebagai air kaca. Terletak di tengah hutan, sebuah ceruk tergenang air bagaikan kolam. Lokasi ini sangat teduh karena ditutupi beberapa pohon rindang yang tinggi. Sayang, air kaca sekarang sudah tak bening lagi. Areal tersebut sudah tidak terawat. Airnya keruh dan semak liar tumbuh bebas. Cerita-cerita rakyat setempat yang mengatakan bahwa air kaca begitu indah pun tinggal kenangan.
Selanjutnya, perjalanan saya tempuh kembali dengan membelah laut. Pulau Zumzum adalah tujuannya. Dari Morotai hanya perlu waktu sekitar 10 menit dengan speedboat. Salah satu alasan saya ingin ke sana adalah karena ingin membuktikan keberadaan patung MacArthur di tengah-tengah pulau. Saat speedboat berlabuh di dermaga kayu nan apik, saya tidak bisa melihat sosok patung tersebut.
Ternyata, untuk mencapai patung MacArthur, pengunjung harus berjalan kaki menembus semak dan pohon rindang. Jalan setapak memang ada, tetapi rimbunan pohon menutupi jalan. Patung MacArthur sebagai penanda bahwa Sang Jenderal pernah bermarkas di pulau tersebut. Di pulau tersebut masih bisa ditemukan bungker pusat komando tentara sekutu.
Selain lokasi-lokasi tersebut, ada beberapa daerah lain yang kental akan peninggalan kisah perang dunia. Bahkan, tak hanya di darat, di bawah laut perairan Morotai pun kaya akan peninggalan sejarah. Tentara Jepang dan sekutu, saat meninggalkan Morotai, membuang persenjataan perang mereka ke laut. Ada pula yang dikubur di bumi Morotai.
Sebagian besar penduduk Morotai kemudian memanfaatkan rongsokan besi-besi peralatan perang untuk aneka kerajinan tangan, seperti aksesoris. Banyak orang yang merasa peninggalan sejarah akan semakin habis karena praktik tersebut. Namun, penduduk Morotai optimistis baru sebagian kecil rongsokan perang yang berhasil ditemukan. Sisanya masih menunggu untuk disingkap dari selimut misteri Pulau Morotai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar