met berkunjung

Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

30 Maret 2017

Benteng Moraya

Sejarah Lengkap Benteng Moraya Tondano 1801

Pada tahun 1801, ada kapal perang yang menembaki benteng Belanda di Manado. Setelah diselidiki ternyata kapal perang tersebut milik Inggris. Mengetahui ada konflik antara Belanda dan Inggris maka para Walak Minahasa meminta bantuan Inggris untuk mengusir Belanda. Dalam upaya mengusir Belanda, Gerrit Wuisang membeli senapan, mesiu, dan meriam dari Inggris.



Ketika Residen Dur digantikan oleh Residen Prediger, maka orang Tondano mulai menyiapkan diri untuk berperang melawan belanda. Dipimpin oleh Tewu (Touliang) dan Ma’alengen (Toulimambot), orang Tondano merasa yakin bahwa pemukiman mereka diatas air di muara tepi danau sulit diserang Belanda, tidak seperti pemukiman walak-walak Minahasa lainnya.



Pada tahun 1806, Benteng Moraya di Minawanua mulai diperkuat dengan pertahanan parit di darat dan pasukan dengan kekuatan 2000 perahu di tepi danau. Pemimpin Tondano mengikat perjanjian denga walak-walak Tombulu, Tonsea, Tontemboan, dan Pasan-Ratahan untuk mengirmkan pasukan dan bahan makanan. Pemimpin walak Minahasa lainnya yang membantu antara lain : Andries Lintong (Likupang), Umboh atau Ombuk dan Rondonuwu (Kalabat) Manopo dan Sambuaga (Tomohon), Gerrit Opatia (Bantik), Poluwakan (Tanawangko), Tuyu (Kawangkoan), Walewangko (Sonder), Keincem (Kiawa), Talumepa (Rumoong), Manampiring (Tombasian), Kalito (Manado), Kalalo (Kakas), Mokolengsang (Ratahan) sementara pemimpin pasukan Tondano pada awal peperangan adalah Kilapog, Sarapung dan Korengkeng.

Pada bulan Mei 1808, Minahasa sudah melarang Belanda pergi ke pegunungan, tapi pada tangal 6 Oktober, Belanda membawa pasukan besar yang terdiri dari serdadu dari Gorontalo, Sangihe, Tidore, Ternate, Jawa, dan Ambon dan mendirikan tenda-tenda di Tata´aran. Pada tanggal 23 Oktober, Belanda mulai menembaki benteng Moraya Tondano dengan meriam 6 pond. Namun, mereka tidak menyangka bahwa akan ada perlawanan dari pihak Tondano. Bahkan, tenda-tenda Belanda di Ta´aran mendapat kejutan setelah pasukan berani mati pimpinan Rumapar, Walalangi, Walintukan dan Rumambi menyerang di tengah malam. Pada bulan November, pimpinan utama Belanda Prediger terluka kepalanya akibat terkena tembakan di Tata´aran. Dia kemudian digantikan wakilnya Letnan J. Herder. Perang kemudian bertambah panas yang kemudian ditandai dengan perang darat dan perahu.



Sejarah Lengkap Benteng Moraya Tondano 18011809, Pemimpin tondano mendatangkan perahu Kora-Kora dengan memotong logistik bahan makanan dari Kakas ke Tondano. Pada tangal 14 April, pasukan Jacob Korompis menyerang tenda-tenda Belanda di Koya. Serangan yang dilakukan malam hari itu, JACOB berhasil merebut amunisi dan senjata milik Belanda. Tanggal 2 Juni Belanda melakukan perjanjian dengan kepala-kepala wala Minahsa lainnya. Kemudian pasukan –pasukan yang bukan orang Tondano muali meninggglakan Benteng Moraya karena bahan makanan muali berkurang. Dan yang tertinggal adalah pasukan dari Tomohon dan Kalabat.



Sejarah Lengkap Benteng Moraya Tondano 1801 Setelah Benteng Moraya jadi sunyi, sudah tidak terdengar lagi teriakan-teriakan perang dan bunyi–bunyi letusan senjata. Lalu pada suatu malam, Belanda menyerang Benteng itu dan membakar rata dengan tanah. Serangan itu dilakukan pada malam hari tanggal 4 Agustus dan pagi 5 Agustus. Dalam penyerangan tersebut, Belanda kemudian membumi hanguskan Benteng Morya Tondano. Pimpinan utama dari perang di Tondano adalah Tewu (Touliang), Lontho (Kamasi-Tomohon), Mamahit (Remboken), Matulandi (Telap) dan Theodorus Lumingkewas (Touliang). Mereka adalah kepala-kepala walak yang disebut “Mayoor” atau Tona’as perang.



1817, Pemberontak di Ambon memberontak terhadap kembalinya Belanda. Dibawah pimpinan Thomas Matulessy, yang juga dipanggil Pattimura, benteng Belanda di Saparua diambil. Dengan bala bantuan dari Batavia, benteng tersebut diambil kembali dan Matulessy dihukum mati.

1825-1830, Perang Jawa. Minahasa bertarung disisi Belanda dalam perang ini. Juga di bagian kepulauan lain untuk menundukkan pemberontakan. 


1820, Sebuah kelompok Calvinist, Masyarakat Misionaris Belanda, beralih dari sebuah kepentingan khusus di Maluku ke daerah Minahasa. Dengan adanya misionaris, datang misi sekolah, yang berarti bahwa, seperti di Ambon dan Roti, pendidikan Barat di Minahasa dimulai jauh lebih awal dibanding bagian lain di Indonesia.

1830, Pangeran Jawa dan pahlawan Indonesia Diponegoro diasingkan ke Manado oleh Belanda. Di Minahasa kewajiban untuk membuat perkebunan yang menghasilkan panen besar kopi murah untuk monopoli Belanda. Orang-orang Minahasa menderita dibawah "kemajuan" ini, bagaimanapun, ekonomi, agama dan hubungan sosial dengan penjajah terus bertambah.

1860, Konversi besar-besaran orang Minahasa ke agama Kristen, yang dilakukan oleh pihak Belanda, hampir komplit.

1881, Sekolah-sekolah misionaris di Manado adalah jerih payah pertama dari pendidikan masal di Indonesia dan tamatannya mendapat keuntungan yang lumayan dalam memperoleh posisi di pelayanan pemerintah, militer dan posisi penting lainnya. 
1881, F. 's-Jacob (1822-1901) ditunjuk sebagai Gubernur Genera. Di Minahasa kepala-kepala lokal memasuki jawatan pemerintah.

1889, Emas ditemukan di Sulawesi Utara. Pemerintah bereaksi dengan menunjuk langsung pemerintahan di Gorantalo dan menutup perjanjian-perjanjian dengan kerajaan lokal.

1945, Sekutu megebom Manado dengan berat. Selama perang kemerdekaan melawan kembalinya Belanda yang berikut, ada perpecahan berat antara kelompok yang pro-Indonesia dan yang lebih berpihak kepada federalisme yang disponsor oleh Belanda.

Penunjukan seorang Manado yang beragama Kristen, Sam Ratulangi, sebagai gubernur republik Indonesia timur yang pertama, menenentukan kemenangan dukungan Minahasa untuk republik.


1956, Eksport ilegal tumbuh dengan subur. Pada bulan Juni Jakarta memerintahkan penutupan pelabuhan Manado, pelabuhan penyelundupan yang paling sibuk di republik. Pemimpin lokal menolak hal tersebut dan Jakarta mundur.



February 1957, Soekarno mengumumkan bahwa lebih baik melaksanakan sistem "demokrasi pemerintah", eufinisme untuk sebuah pemerintahan yang otokratis.



March 1957, Pemimpin militer baik Sulawesi Selatan maupun Utara mengadakan sebuah konfrontasi terhadap pemerintah pusat, dengan tuntutan otonomi daerah yang lebih besar. Mereka menuntut pembangunan lokal yang lebih banyak, pembagian pendapatan yang lebih adil, menolong dalam menekan pemberontakan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, dan sebuah kabinet pemerintahan pusat bersama yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta. Paling tidak awalnya pemberontakan "Permesta" (Piagam Perjuangan Semesta Alam) adalah sebuah reformis daripada sebuah gerakan separatis.



June 1957, Pemimpin Sulawesi Utara merasa tidak puas dengan perjanjian dan perpecahan gerakan Permesta. Diilhami, barangkali, oleh ketakutan akan dikuasai oleh pihak selatan, pemimpin memberikan pernyataan negara otonomi mereka sendiri dari Sulawesi Utara.

Lalu Soekarno menunjuk sebuah kabinet kerja dibawah komando R.H. Djuanda (1911-1963). Dia juga menunjuk sebuah "Dewan Nasional" yang terdiri dari beberapa "kelompok fungsionil".



October 1957, Setelah sebuah boikot pada bulan Desember, pemilik dari hampir 250 perusahaan Belanda dinasionalisasikan dan diumumkan bahwa 46.000 orang warga negara Belanda harus meninggalkan negara. Perwira TNI diangkat sebagai manajer dan direktur dari perusaan Belanda yang dicaplok.



1958, Selama perjalanan Soekarno kesejumlah negara Asia (Februari) pemberontak-pemberontak di Bukittingi (Sumatra-Barat) PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia), dibawah pimpinan Sjafruddin Prawiranegara (1911-1989) memberontak. Walaupun pemberontakan tersebut tidak bermaksud untuk memisahkan diri dari Indonesia, Sukarno tidak ragu-ragu untuk membabat gerakan tersebut pada waktu kepulangannya. Kemungkinan campur tangan dari pihak luar akhirnya menggerakkan pemerintah pusat untuk mencari bantuan militer dari Sulawesi Selatan.

Angkatan perang Permesta diantar dari Sulawesi Tengah, Gorontalo, Kepulauan Sangihe dan dari Morotai di Maluku (dari lapangan terbang masing-masing, pemberontak sudah berharap untuk terbang serangan pengeboman ke Jakarta). Beberapa pesawat pemberontak tersebut (disediakan oleh Amerika dan diterbangkan oleh pilot-polot Filipina, Taiwan dan Amerika) dimusnahkan. US policy shifted, favoring Jakarta.

Angkatan udara mengebom kota-kota di daerah pemberontak (Padang, Bukittingi, Manado) dan tentara menaklukkan Medan dan kemudian Padang.



June 1958, Tentara pemerintah pusat mendarat di Sulawesi Utara dan menawan Manado. Namun gerak-gerik tersebut bahaya untuk Jakarta, karena di Ambom pemberontak mendapat bentuk bantuan dari Amerika dan Belanda. Juga Filipina, Cina Nasionalis (Taiwan) dan Malaysia yang mendukung pemberontakan. Jenderal Nasution merumuskan teori "dwifungsi" (fungsi ganda), dimana tentara, selain menjadi tenaga perjuangan, juga menjadi organisasi sosial dalam pelayanan perkembangan sosial negara.



1959, Kekuasaan pusat ditingkatkan di biaya otonomi lokal, nasionalisme radikal memperoleh sikap moderat yang pragmatis, kekuatan komunis dan Soekarno bertambah sedangkan Hatta menyusut, dan Soekarno mampu memperlihatkan "Panduan Demokrasi"nya.



1961, Pemberontakan Permesta akhirnya dipadamkan.



1967, Sulawesi Utara menjadi makmur dibawah Pemerintahan Orde Baru dari Presiden Soeharto, yang telah mengambil alih kantor. Banyak laporan ekonomi (tetapi sedikit perbaikan politik) yang dicari oleh pemberontak Permesta tercapai. Propinsi tersebut memiliki kebudayaan yang toleran dan memandang keluar. Masa depan akan memperlihatkan apa yang akan terjadi setelah pelaksanaan Otonomi Daerah, gagasan yang sangat diperjuangkan oleh Permesta.

 Sumber  : http://www.kapista.com/2016/10/sejarah-lengkap-benteng-moraya-tondano.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hubungi via :