Stasiun Jatinegara Pertigaan Mester tempo dulu
Nyak gw pernah cerita,dulu ,waktu nyak gw masih kecil kalo mau ke Mester kudu naek delman,karena cuman itu doang angkutan yang ada.Perjalanannya lancar dan adem karena dikiri kanan masih banyak pohon pohon besar.
Sekarang ini kalao dari Cililitan mau ke Mester kudu naek angkot jenis Metromini atau Mikrolet dengan perjalanan yang macet dan panas.
Mungkin banyak yang belum tahu bahwa nama Jatinegara, sebuah
kecamatan di Jakarta Timur, baru muncul pada tahun 1942. Yakni, pada
awal masa pendudukan Jepang sebagai pengganti nama Meester Cornelis yang
berbau Belanda.
Nama Jatinegara ‘negara sejati’ sebetulnya sudah dipopulerkan oleh
Pangeran Ahmad Jakarta. Saat pangeran dan pengikutnya hengkang dari
Sunda Kelapa dan keratonnya dihancurkan Belanda, sambil bersumpah untuk
memerangi VOC, mereka mendirikan perkampungan yang diberi nama
Jatinegara Kaum, di Pulo Gadung, Jakarta Timur.
Jepang, pada saat bersamaan, juga merubah nama Batavia menjadi
Jakarta, dari kata Jayakarta. Naman ini juga telah dipopulerkan
Fatahillah, ketika ia dan balatentaranya mengusir pasukan Portugis dari
Teluk Jakarta (22 Juni 1527).
Sebutan Meester Cornelis sendiri mulai muncul ke pentas sejarah kota
Jakarta pada pertengahan abad ke-17 bersamaan dengan diberikannya izin
pembukaan hutan di kawasan itu pada Cornelis Senen oleh VOC. Cornelis
Senen adalah seorang guru agama Kristen dari Lontor, Pulau Banda.
Ketika tanah tumpah darahnya dikuasai kompeni (1621), Cornelis mulai
bermukim di Batavia. Dia dikenal mampu berkhotbah, baik dalam bahasa
Melayu maupun Portugis (Kreol). Sebagai guru ia biasa dipanggil meester
yang berarti tuan guru. Hutan yang dibukanya juga dikenal dengan Meester
Cornelis, yang oleh pribumi biasa disingkat mester.
Hingga sekarang masih banyak warga menyebut mester untuk Jatinegara
atau Kampung Melayu. Termasuk para pengemudi angkot dan bus kota.
Meester Cornelis dahulu merupakan kawasan yang berdiri sendiri dan tidak
dalam pemerintahan Batavia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar