met berkunjung

Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

14 Februari 2017

Sejarah Kota Gorontalo



Asal mula nama Gorontalo memiliki banyak versi atau pendapat yang hingga kini belum ada semacam kesepakatan, manay yang dapat menjadi rujukan yang tepat oleh para generasi muda. Meski demikian, perbedaan versi tersebut bukan faktor yang dapat memicu perdebatan yang berkepanjangan, justru sebaliknya, hal itu merupakan anugerah atau kekayaan yang menunjukkan, betapa orang Gorontalo merupakan masyarakat yang kaya nan beragam.

Kata Gorontalo menurut versi yang hidup secara turun temurun dan diyakini oleh sebagian kalangan, terutama oleh para sesepuh, adalah sebuah kata yang terbentuk akibat pengaruh “lidah” Belanda, yakni bangsa yang dicatat oleh sejarah yang menjajah Indonesia selama 350 tahun lamanya termasuk Gorontalo. Huruh H, dalam penulisan dan penyebutannya dalam bahsa Belanda selalu ditulis dan disebut dengan huruf “G” dan beberapa istilah lainnya, karena pengaruh lidah orang Belandayang selalu kedengarannya aneh atau menyimpang dari versi aslinya yang dikenal dalam bahasa Gorontalo Bula-bula’i. hal ini bagi mereka yang berpendapatan bahwa kata Gorontalo, berawal dari Hulontaloyang dikarena “lidah” Belanda dibaca menjadi Gorontalo. Dari pendapat ini, muncul asumsi yang menyebutkan bahwa Gorontalo berasal dari kata Holand Talo,yakni negeri Belanda dikerajaan Talo.

 Negeri Belanda pada zaman duludan hingga sekarang disebut dengan “Holand”, karena kondisi geografis Gorontalo yang konon menyerupai negeri Belanda yang selalu digenangi air dan berada ditepi laut, juga terlettak disebuah lembah, karena dikelilngi oleh gunung, maka disebut sebagai negerinya Holand yang berada dikerajaan Talo. Mengapa kerajaan Talo ? karena konon sebelum Belanda masuk ke Gorontalo, terlebih dahulu menguasai kerajaan Gowa dan Talo yang resmi menguasai daerah ini tahun 1669 setelah perjanjian Bongaya 1667. Dari kerajaan Talo Belanda terus memperluas daerah kekuasaannya ke Tarnate dan akhirnya ke Gorontalo. Dari Tarnate inilah, Belanda mengenal dan akhirnya memasuki Gorontalo. Proses masuknya Belanda ke Gorontalo berawal dari perseterua antara penguasa Limboto dan penguasa Gorontalo. Penguasa Limboto dalam perseteruan ini, meminta bala bantuan Tarnate dan Kerajaan Gorontalo meminta bantuan Kerajaan Gowa. Pendapat ini bisa saja benar, jika menurut kembali ke sumber yang diungkap dalam Buku Sejarah Perjuangan Rakyat Gorontalo yang disusun oleh Yayasan 23 Januari 1942, bekerjasama dengan IKIP Negeri Manado Cabang Gorontalo yang diterbitkan oleh PT.Gobel Dharma Nusantara tahun 1981.




 Dalam buku tersebut, Belanda resmi menguasai Gorontalo pada tahun 1678. Pada masa itu, Gorontalo dipimpin oleh Raja Biya diselatan Tatohuliyaliyo yang memerintah dari tahun 1677 s/d 1690 dan Raya Eyato di utara Tatotilayo yang nemerintah dari tahun 1673 s/d 1679. GUBERNUR VOC untuk wilayah Ternate R. Padbrugge, setibanya di Gorontalo pada masa itu, mengajukan kontrak kepada Raja Biya, namun kontrak tersebut ditolak mentah-mentah. Karena mendapat penolakan, R.Padbrugge pada tahun 1681 memutuskan menyerang Gorntalo hingga pecahnya perang “Padengo” yang berjarak kurang lebih 10km dari pusat kerajaan (Desa Padengo Kec. Kabila sekarang). Namun dalam perang tersebut, Raja Biya dibantu dan diperkuat oleh Raya Eyato, “Tatolilayo” namun dalam perang Padengo tersebut, Raya Eyato tertangkap oleh belanda dan dibuang ke Ceylon, sehingga ia mendapat gelar “Tatoceyloni” atau yang diceylonkan. Usai penangkapan Raja Eyato, perlawanan terhadap belanda dilanjutkan kembali oleh raja Biya. Sejak saat itulah,kemudian Gorontalo disebut sebagai “Holand Talo” atau negeri Holand dari kerajaan Talo. Versi lainnya menyebutkan, kata Gorontalo berasal dari kata “ Hulantdalangi” yang merupakan padanan dari kata “ Huta Lohu-lohu Pilontdalenga bo langi-langi”yang artinya tanah/bumi yang labil seperti turun kebawah yang digenangi air, yang diatasnya terdapat orang berjalan kesana kemari. Ungkapan ini bisa saja benar, karena kata “lohu-lohu”, biasanya digunakan oleh leluhur kita untuk penyebutan “tanah yang labil yang menjorok kebawah dan disekelilingnya terdapat bagian atau daratan tertinggi.

 Hal ini kian mendekati kebenaran karena daerah ini, khususnya kawasan kota Gorontalo sekarang, secara geografis dapat diamati merupakan sebuah lembah yang dikelilingi oleh gunung, berbentuk seperti tempayan, berada dimuara teluk tomini dan juga tempat bermuaranya dua sungai besar yaitu Sungai Bolango dan Sungai Bone yang sesekali jika air pasang selalu menggenangi dataran rendah disekitarnya. Dengan asumsi lain, bahwa dibandingkan dengan kawasan lainnya di wilayah Sulawisi, bumi Gorontalo, khususnya kawasan kota Gorontalo berada di dataran rendah (tiba-tibawa) atau tanahnya, datarannya, atau dalam bahasa Gorontalo hutaliyo yang “Lohu-lohu”. Semnetara “ Pilontdalenga” atau berjalan kian kemari merupakan istilah yang muncul karena, tabiat atau perangai Olangia (Raja) yang selalu berjalan mengelilingi kerajaan-kerajaan tetanggaynya. “ konon menurut cerita, raja pertama di dataran Gorontalo dikenal dengan nama Raja Humalanggi yang menikah dengan anak Raja Mooduto VII pada tahun 1300-an abad ke XIII. Dari pernikahn ini lahirlah 8orang anak yang selanjutnya menerunkan pemimpin-pemimpin Gorontalo dari masa kemasa. Tidak heran jika Raja Humalanggi mendapat gelar sebagai “ Ti Bapu Da’a Lo Hulontdalo”. Atau kakeknya orang Gorontalo. 
Salah seorang diantara anak dari Raja Humalanggi adalah Wadipalapa yang mendapat mewarisi kerajaan. Menurut kisah yang dituturkan turun menurun, bahwa Raja Wadipalapa memiliki perangai yang baik. Ia selalu menjaga hubungan silaturahmi dengan rakyat yang dipimpinnya dan rajin berkunjung pada raja-raja lainnya yang menjadi tentangga kerajaannya. Perangai Raja Wadipalapa yang selalu berjalan hilir mudik mengelilingi kerajaan-kerajaan lainnya di Gorontalo ini, menjadikan 17 kerajaan (linula) di kawasan ini dalam beberapa puluh tahun lamanya hidup berdampngan secara damai. Tidak heran jika Raja Wadipalapa mendapat gelar “Ilahudu” yang artinya raja yang mampu mempersatukan raja-raja kecil di Gorontalo. Hal ini juga sejalan dengan karakter orang Gorontalo yang suka bepergian, (montdalengo, “ntda-ntdalenga”) atau saling mengunjungi meski harus berjalan kaki sekalipun. Tidak heran pula, 

Gorontalo saat ini terdapat banyak desa yang menunjukkan jejak-jejak perjalanan jauh, seperti “Pilohuwata” (paguat) atau menempuh perjalanan jauh dengan berjalan kaki, atau nama “isimu” yang berasal dari kata “Pilona’owa lo limbuta” atau tempat yang dilalui dengan menempuh perjalanan jauh dengan berjalan kaki. Asumsi tentang asal mula nama Gorontalo, Hulontdalangi atau “huta lohu-lohu”, Pilontdalenga’u langi-langi juga, diperkuat dengan keberadaan kerajaan digorntalo pada abad XVI dan XVII yang dikenal dengan “Raja Tatohuliyaliyo” dan Raja Tatotilayo. Istilah, “Huliyaliyo” dan “Tatitilayo” adalah istilah untuk sungai, yakni “Tilayo” adalah kawasan hulu sungai yang “posisinya berada di ketinggian” sehingga sumber air atau arus sungai mengalir kedataran bawah (hilir) yang disebut “Huliyaliyo”. Artinya, posisi “Tilayo” adalah hulu yang berada di atas ketinggian, dan “Huliyaliyo” adalah kawasan dataran rendah, arus sungai selalu mengalir dari atas kebawah. Biasanya, daerah hilir atau tanah dikawasan hilir selalu digenangi air yang terbukti hingga saat ini, ketika turun hujan maka dalam hitungan jam saja, Goorntalo sudah digenangi air yang membutuhkan waktu berjam-jema untuk surut.

Dengan demikian, asal mula nama Gorontalo yang berasal dari “kata Hulontdalangi” mendekati kebenaran, jika menggunakan perspektif geografis wilayah Gorontalo yang menjadi dareah hilir sungai Bolango dan sungai Bone yang mebgalir dari kawasan ketinggian di wilayah Dulomayo Kec. Telaga Biru sekarang. Bahkan lebih dari itu, filosofi kepemimpinan di Gorontalo, jika diamati, spiritnya bersumber dari sifat sungai yakni daerah “hulu” disebut juga dengan istilah “Tauwa” yang digunakan untuk julukan para pemimpin puncak (olongia) yang disebut “Tauwa Lo Lipu” dibagian bawah hulu sungai (kawasan antara) disebut dengan “Buta’iyoyang dalam sistem kerajaan disebut dengan “Bubato” atau para abdi (aparat) kerajaan bagian hilir, disebut “huliyaliyo” yakni rakyat yang menjadi obyek dimana air dari hulu mengalir. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa Hulontdalo,Hulontdalo berasal dari kata “Huo Lolontdalango” artinya orang Gowa yang berjalan kian kemari. “Hulutalangi” yang berate mulia. “Hulua Lo Tola” artinya tempat pembiakan ikan Kabos (Gabus), “Pogolatalo atau Phulatalo” artinya tempat menunggu. 
Bahkan ada juga yang berpendapat bahwa Hulontalo adalah nama salah seorang kemenakan Raja tidore yang melarinkan diri dan terdampar di daerah ini. Pendapat lainnya mengenai asal mula nama Gorontalo juga di persepsikan berasal dari akat “gunung Telu” dari ucapan orang Gowa yang apabila memasuki pelabuhan Gorontalo melihat tiga buah gunung yang menonjol di dataran Gorontalo. Ada juga yang berpendapat bahwa Hulondtalangi berasal dari ungkapan perpindahan “orang-orang” yang sebelumnya hidup digunung-gunung(Huidu) mulai turun ke daratan yang masih digenangi air atau “ Ta Lontdo Huidu ode Huta U’langi-langi”. Pendapat ini mendekati kebenaran jika merujuk pada kondisi geografis Gorontalo yang dikelilingi oleh perbukitan atau pegunungan. 

Sumber : Ali Mobiliu (dalam bukunya yang berujudul MOMU’ATO, membuka tabir 1. Kisah Asal Mula Nama-nam Kampung Di Gorontalo)

Sumber : Kompasiana




Asal mula nama Gorontalo memiliki banyak versi atau pendapat yang hingga kini belum ada semacam kesepakatan, manay yang dapat menjadi rujukan yang tepat oleh para generasi muda. Meski demikian, perbedaan versi tersebut bukan faktor yang dapat memicu perdebatan yang berkepanjangan, justru sebaliknya, hal itu merupakan anugerah atau kekayaan yang menunjukkan, betapa orang Gorontalo merupakan masyarakat yang kaya nan beragam. Kata Gorontalo menurut versi yang hidup secara turun temurun dan diyakini oleh sebagian kalangan, terutama oleh para sesepuh, adalah sebuah kata yang terbentuk akibat pengaruh “lidah” Belanda, yakni bangsa yang dicatat oleh sejarah yang menjajah Indonesia selama 350 tahun lamanya termasuk Gorontalo. Huruh H, dalam penulisan dan penyebutannya dalam bahsa Belanda selalu ditulis dan disebut dengan huruf “G” dan beberapa istilah lainnya, karena pengaruh lidah orang Belandayang selalu kedengarannya aneh atau menyimpang dari versi aslinya yang dikenal dalam bahasa Gorontalo Bula-bula’i. hal ini bagi mereka yang berpendapatan bahwa kata Gorontalo, berawal dari Hulontaloyang dikarena “lidah” Belanda dibaca menjadi Gorontalo. Dari pendapat ini, muncul asumsi yang menyebutkan bahwa Gorontalo berasal dari kata Holand Talo,yakni negeri Belanda dikerajaan Talo. Negeri Belanda pada zaman duludan hingga sekarang disebut dengan “Holand”, karena kondisi geografis Gorontalo yang konon menyerupai negeri Belanda yang selalu digenangi air dan berada ditepi laut, juga terlettak disebuah lembah, karena dikelilngi oleh gunung, maka disebut sebagai negerinya Holand yang berada dikerajaan Talo. Mengapa kerajaan Talo ? karena konon sebelum Belanda masuk ke Gorontalo, terlebih dahulu menguasai kerajaan Gowa dan Talo yang resmi menguasai daerah ini tahun 1669 setelah perjanjian Bongaya 1667. Dari kerajaan Talo Belanda terus memperluas daerah kekuasaannya ke Tarnate dan akhirnya ke Gorontalo. Dari Tarnate inilah, Belanda mengenal dan akhirnya memasuki Gorontalo. Proses masuknya Belanda ke Gorontalo berawal dari perseterua antara penguasa Limboto dan penguasa Gorontalo. Penguasa Limboto dalam perseteruan ini, meminta bala bantuan Tarnate dan Kerajaan Gorontalo meminta bantuan Kerajaan Gowa. Pendapat ini bisa saja benar, jika menurut kembali ke sumber yang diungkap dalam Buku Sejarah Perjuangan Rakyat Gorontalo yang disusun oleh Yayasan 23 Januari 1942, bekerjasama dengan IKIP Negeri Manado Cabang Gorontalo yang diterbitkan oleh PT.Gobel Dharma Nusantara tahun 1981. Dalam buku tersebut, Belanda resmi menguasai Gorontalo pada tahun 1678. Pada masa itu, Gorontalo dipimpin oleh Raja Biya diselatan Tatohuliyaliyo yang memerintah dari tahun 1677 s/d 1690 dan Raya Eyato di utara Tatotilayo yang nemerintah dari tahun 1673 s/d 1679. GUBERNUR VOC untuk wilayah Ternate R. Padbrugge, setibanya di Gorontalo pada masa itu, mengajukan kontrak kepada Raja Biya, namun kontrak tersebut ditolak mentah-mentah. Karena mendapat penolakan, R.Padbrugge pada tahun 1681 memutuskan menyerang Gorntalo hingga pecahnya perang “Padengo” yang berjarak kurang lebih 10km dari pusat kerajaan (Desa Padengo Kec. Kabila sekarang). Namun dalam perang tersebut, Raja Biya dibantu dan diperkuat oleh Raya Eyato, “Tatolilayo” namun dalam perang Padengo tersebut, Raya Eyato tertangkap oleh belanda dan dibuang ke Ceylon, sehingga ia mendapat gelar “Tatoceyloni” atau yang diceylonkan. Usai penangkapan Raja Eyato, perlawanan terhadap belanda dilanjutkan kembali oleh raja Biya. Sejak saat itulah,kemudian Gorontalo disebut sebagai “Holand Talo” atau negeri Holand dari kerajaan Talo. Versi lainnya menyebutkan, kata Gorontalo berasal dari kata “ Hulantdalangi” yang merupakan padanan dari kata “ Huta Lohu-lohu Pilontdalenga bo langi-langi”yang artinya tanah/bumi yang labil seperti turun kebawah yang digenangi air, yang diatasnya terdapat orang berjalan kesana kemari. Ungkapan ini bisa saja benar, karena kata “lohu-lohu”, biasanya digunakan oleh leluhur kita untuk penyebutan “tanah yang labil yang menjorok kebawah dan disekelilingnya terdapat bagian atau daratan tertinggi. Hal ini kian mendekati kebenaran karena daerah ini, khususnya kawasan kota Gorontalo sekarang, secara geografis dapat diamati merupakan sebuah lembah yang dikelilingi oleh gunung, berbentuk seperti tempayan, berada dimuara teluk tomini dan juga tempat bermuaranya dua sungai besar yaitu Sungai Bolango dan Sungai Bone yang sesekali jika air pasang selalu menggenangi dataran rendah disekitarnya. Dengan asumsi lain, bahwa dibandingkan dengan kawasan lainnya di wilayah Sulawisi, bumi Gorontalo, khususnya kawasan kota Gorontalo berada di dataran rendah (tiba-tibawa) atau tanahnya, datarannya, atau dalam bahasa Gorontalo hutaliyo yang “Lohu-lohu”. Semnetara “ Pilontdalenga” atau berjalan kian kemari merupakan istilah yang muncul karena, tabiat atau perangai Olangia (Raja) yang selalu berjalan mengelilingi kerajaan-kerajaan tetanggaynya. “ konon menurut cerita, raja pertama di dataran Gorontalo dikenal dengan nama Raja Humalanggi yang menikah dengan anak Raja Mooduto VII pada tahun 1300-an abad ke XIII. Dari pernikahn ini lahirlah 8orang anak yang selanjutnya menerunkan pemimpin-pemimpin Gorontalo dari masa kemasa. Tidak heran jika Raja Humalanggi mendapat gelar sebagai “ Ti Bapu Da’a Lo Hulontdalo”. Atau kakeknya orang Gorontalo. Salah seorang diantara anak dari Raja Humalanggi adalah Wadipalapa yang mendapat mewarisi kerajaan. Menurut kisah yang dituturkan turun menurun, bahwa Raja Wadipalapa memiliki perangai yang baik. Ia selalu menjaga hubungan silaturahmi dengan rakyat yang dipimpinnya dan rajin berkunjung pada raja-raja lainnya yang menjadi tentangga kerajaannya. Perangai Raja Wadipalapa yang selalu berjalan hilir mudik mengelilingi kerajaan-kerajaan lainnya di Gorontalo ini, menjadikan 17 kerajaan (linula) di kawasan ini dalam beberapa puluh tahun lamanya hidup berdampngan secara damai. Tidak heran jika Raja Wadipalapa mendapat gelar “Ilahudu” yang artinya raja yang mampu mempersatukan raja-raja kecil di Gorontalo. Hal ini juga sejalan dengan karakter orang Gorontalo yang suka bepergian, (montdalengo, “ntda-ntdalenga”) atau saling mengunjungi meski harus berjalan kaki sekalipun. Tidak heran pula, Gorontalo saat ini terdapat banyak desa yang menunjukkan jejak-jejak perjalanan jauh, seperti “Pilohuwata” (paguat) atau menempuh perjalanan jauh dengan berjalan kaki, atau nama “isimu” yang berasal dari kata “Pilona’owa lo limbuta” atau tempat yang dilalui dengan menempuh perjalanan jauh dengan berjalan kaki. Asumsi tentang asal mula nama Gorontalo, Hulontdalangi atau “huta lohu-lohu”, Pilontdalenga’u langi-langi juga, diperkuat dengan keberadaan kerajaan digorntalo pada abad XVI dan XVII yang dikenal dengan “Raja Tatohuliyaliyo” dan Raja Tatotilayo. Istilah, “Huliyaliyo” dan “Tatitilayo” adalah istilah untuk sungai, yakni “Tilayo” adalah kawasan hulu sungai yang “posisinya berada di ketinggian” sehingga sumber air atau arus sungai mengalir kedataran bawah (hilir) yang disebut “Huliyaliyo”. Artinya, posisi “Tilayo” adalah hulu yang berada di atas ketinggian, dan “Huliyaliyo” adalah kawasan dataran rendah, arus sungai selalu mengalir dari atas kebawah. Biasanya, daerah hilir atau tanah dikawasan hilir selalu digenangi air yang terbukti hingga saat ini, ketika turun hujan maka dalam hitungan jam saja, Goorntalo sudah digenangi air yang membutuhkan waktu berjam-jema untuk surut. Dengan demikian, asal mula nama Gorontalo yang berasal dari “kata Hulontdalangi” mendekati kebenaran, jika menggunakan perspektif geografis wilayah Gorontalo yang menjadi dareah hilir sungai Bolango dan sungai Bone yang mebgalir dari kawasan ketinggian di wilayah Dulomayo Kec. Telaga Biru sekarang. Bahkan lebih dari itu, filosofi kepemimpinan di Gorontalo, jika diamati, spiritnya bersumber dari sifat sungai yakni daerah “hulu” disebut juga dengan istilah “Tauwa” yang digunakan untuk julukan para pemimpin puncak (olongia) yang disebut “Tauwa Lo Lipu” dibagian bawah hulu sungai (kawasan antara) disebut dengan “Buta’iyoyang dalam sistem kerajaan disebut dengan “Bubato” atau para abdi (aparat) kerajaan bagian hilir, disebut “huliyaliyo” yakni rakyat yang menjadi obyek dimana air dari hulu mengalir. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa Hulontdalo,Hulontdalo berasal dari kata “Huo Lolontdalango” artinya orang Gowa yang berjalan kian kemari. “Hulutalangi” yang berate mulia. “Hulua Lo Tola” artinya tempat pembiakan ikan Kabos (Gabus), “Pogolatalo atau Phulatalo” artinya tempat menunggu. Bahkan ada juga yang berpendapat bahwa Hulontalo adalah nama salah seorang kemenakan Raja tidore yang melarinkan diri dan terdampar di daerah ini. Pendapat lainnya mengenai asalmula nama Gorontalo juga di persepsikan berasal dari akat “gunung Telu” dari ucapan orang Gowa yang apabila memasuki pelabuhan Gorontalo melihat tiga buah gunung yang menonjol di dataran Gorontalo. Ada juga yang berpendapat bahwa Hulondtalangi berasal dari ungkapan perpindahan “orang-orang” yang sebelumnya hidup digunung-gunung(Huidu) mulai turun ke daratan yang masih digenangi air atau “ Ta Lontdo Huidu ode Huta U’langi-langi”. Pendapat ini mendekati kebenaran jika merujuk pada kondisi geografis Gorontalo yang dikelilingi oleh perbukitan atau pegunungan. Sumber : Ali Mobiliu (dalam bukunya yang berujudul MOMU’ATO, membuka tabir 1. Kisah Asal Mula Nama-nam Kampung Di Gorontalo)

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/faradilaalamri/tentang-asal-mula-nama-gorontalo_57e918c6799773e71a6eb264
Asal mula nama Gorontalo memiliki banyak versi atau pendapat yang hingga kini belum ada semacam kesepakatan, manay yang dapat menjadi rujukan yang tepat oleh para generasi muda. Meski demikian, perbedaan versi tersebut bukan faktor yang dapat memicu perdebatan yang berkepanjangan, justru sebaliknya, hal itu merupakan anugerah atau kekayaan yang menunjukkan, betapa orang Gorontalo merupakan masyarakat yang kaya nan beragam. Kata Gorontalo menurut versi yang hidup secara turun temurun dan diyakini oleh sebagian kalangan, terutama oleh para sesepuh, adalah sebuah kata yang terbentuk akibat pengaruh “lidah” Belanda, yakni bangsa yang dicatat oleh sejarah yang menjajah Indonesia selama 350 tahun lamanya termasuk Gorontalo. Huruh H, dalam penulisan dan penyebutannya dalam bahsa Belanda selalu ditulis dan disebut dengan huruf “G” dan beberapa istilah lainnya, karena pengaruh lidah orang Belandayang selalu kedengarannya aneh atau menyimpang dari versi aslinya yang dikenal dalam bahasa Gorontalo Bula-bula’i. hal ini bagi mereka yang berpendapatan bahwa kata Gorontalo, berawal dari Hulontaloyang dikarena “lidah” Belanda dibaca menjadi Gorontalo. Dari pendapat ini, muncul asumsi yang menyebutkan bahwa Gorontalo berasal dari kata Holand Talo,yakni negeri Belanda dikerajaan Talo. Negeri Belanda pada zaman duludan hingga sekarang disebut dengan “Holand”, karena kondisi geografis Gorontalo yang konon menyerupai negeri Belanda yang selalu digenangi air dan berada ditepi laut, juga terlettak disebuah lembah, karena dikelilngi oleh gunung, maka disebut sebagai negerinya Holand yang berada dikerajaan Talo. Mengapa kerajaan Talo ? karena konon sebelum Belanda masuk ke Gorontalo, terlebih dahulu menguasai kerajaan Gowa dan Talo yang resmi menguasai daerah ini tahun 1669 setelah perjanjian Bongaya 1667. Dari kerajaan Talo Belanda terus memperluas daerah kekuasaannya ke Tarnate dan akhirnya ke Gorontalo. Dari Tarnate inilah, Belanda mengenal dan akhirnya memasuki Gorontalo. Proses masuknya Belanda ke Gorontalo berawal dari perseterua antara penguasa Limboto dan penguasa Gorontalo. Penguasa Limboto dalam perseteruan ini, meminta bala bantuan Tarnate dan Kerajaan Gorontalo meminta bantuan Kerajaan Gowa. Pendapat ini bisa saja benar, jika menurut kembali ke sumber yang diungkap dalam Buku Sejarah Perjuangan Rakyat Gorontalo yang disusun oleh Yayasan 23 Januari 1942, bekerjasama dengan IKIP Negeri Manado Cabang Gorontalo yang diterbitkan oleh PT.Gobel Dharma Nusantara tahun 1981. Dalam buku tersebut, Belanda resmi menguasai Gorontalo pada tahun 1678. Pada masa itu, Gorontalo dipimpin oleh Raja Biya diselatan Tatohuliyaliyo yang memerintah dari tahun 1677 s/d 1690 dan Raya Eyato di utara Tatotilayo yang nemerintah dari tahun 1673 s/d 1679. GUBERNUR VOC untuk wilayah Ternate R. Padbrugge, setibanya di Gorontalo pada masa itu, mengajukan kontrak kepada Raja Biya, namun kontrak tersebut ditolak mentah-mentah. Karena mendapat penolakan, R.Padbrugge pada tahun 1681 memutuskan menyerang Gorntalo hingga pecahnya perang “Padengo” yang berjarak kurang lebih 10km dari pusat kerajaan (Desa Padengo Kec. Kabila sekarang). Namun dalam perang tersebut, Raja Biya dibantu dan diperkuat oleh Raya Eyato, “Tatolilayo” namun dalam perang Padengo tersebut, Raya Eyato tertangkap oleh belanda dan dibuang ke Ceylon, sehingga ia mendapat gelar “Tatoceyloni” atau yang diceylonkan. Usai penangkapan Raja Eyato, perlawanan terhadap belanda dilanjutkan kembali oleh raja Biya. Sejak saat itulah,kemudian Gorontalo disebut sebagai “Holand Talo” atau negeri Holand dari kerajaan Talo. Versi lainnya menyebutkan, kata Gorontalo berasal dari kata “ Hulantdalangi” yang merupakan padanan dari kata “ Huta Lohu-lohu Pilontdalenga bo langi-langi”yang artinya tanah/bumi yang labil seperti turun kebawah yang digenangi air, yang diatasnya terdapat orang berjalan kesana kemari. Ungkapan ini bisa saja benar, karena kata “lohu-lohu”, biasanya digunakan oleh leluhur kita untuk penyebutan “tanah yang labil yang menjorok kebawah dan disekelilingnya terdapat bagian atau daratan tertinggi. Hal ini kian mendekati kebenaran karena daerah ini, khususnya kawasan kota Gorontalo sekarang, secara geografis dapat diamati merupakan sebuah lembah yang dikelilingi oleh gunung, berbentuk seperti tempayan, berada dimuara teluk tomini dan juga tempat bermuaranya dua sungai besar yaitu Sungai Bolango dan Sungai Bone yang sesekali jika air pasang selalu menggenangi dataran rendah disekitarnya. Dengan asumsi lain, bahwa dibandingkan dengan kawasan lainnya di wilayah Sulawisi, bumi Gorontalo, khususnya kawasan kota Gorontalo berada di dataran rendah (tiba-tibawa) atau tanahnya, datarannya, atau dalam bahasa Gorontalo hutaliyo yang “Lohu-lohu”. Semnetara “ Pilontdalenga” atau berjalan kian kemari merupakan istilah yang muncul karena, tabiat atau perangai Olangia (Raja) yang selalu berjalan mengelilingi kerajaan-kerajaan tetanggaynya. “ konon menurut cerita, raja pertama di dataran Gorontalo dikenal dengan nama Raja Humalanggi yang menikah dengan anak Raja Mooduto VII pada tahun 1300-an abad ke XIII. Dari pernikahn ini lahirlah 8orang anak yang selanjutnya menerunkan pemimpin-pemimpin Gorontalo dari masa kemasa. Tidak heran jika Raja Humalanggi mendapat gelar sebagai “ Ti Bapu Da’a Lo Hulontdalo”. Atau kakeknya orang Gorontalo. Salah seorang diantara anak dari Raja Humalanggi adalah Wadipalapa yang mendapat mewarisi kerajaan. Menurut kisah yang dituturkan turun menurun, bahwa Raja Wadipalapa memiliki perangai yang baik. Ia selalu menjaga hubungan silaturahmi dengan rakyat yang dipimpinnya dan rajin berkunjung pada raja-raja lainnya yang menjadi tentangga kerajaannya. Perangai Raja Wadipalapa yang selalu berjalan hilir mudik mengelilingi kerajaan-kerajaan lainnya di Gorontalo ini, menjadikan 17 kerajaan (linula) di kawasan ini dalam beberapa puluh tahun lamanya hidup berdampngan secara damai. Tidak heran jika Raja Wadipalapa mendapat gelar “Ilahudu” yang artinya raja yang mampu mempersatukan raja-raja kecil di Gorontalo. Hal ini juga sejalan dengan karakter orang Gorontalo yang suka bepergian, (montdalengo, “ntda-ntdalenga”) atau saling mengunjungi meski harus berjalan kaki sekalipun. Tidak heran pula, Gorontalo saat ini terdapat banyak desa yang menunjukkan jejak-jejak perjalanan jauh, seperti “Pilohuwata” (paguat) atau menempuh perjalanan jauh dengan berjalan kaki, atau nama “isimu” yang berasal dari kata “Pilona’owa lo limbuta” atau tempat yang dilalui dengan menempuh perjalanan jauh dengan berjalan kaki. Asumsi tentang asal mula nama Gorontalo, Hulontdalangi atau “huta lohu-lohu”, Pilontdalenga’u langi-langi juga, diperkuat dengan keberadaan kerajaan digorntalo pada abad XVI dan XVII yang dikenal dengan “Raja Tatohuliyaliyo” dan Raja Tatotilayo. Istilah, “Huliyaliyo” dan “Tatitilayo” adalah istilah untuk sungai, yakni “Tilayo” adalah kawasan hulu sungai yang “posisinya berada di ketinggian” sehingga sumber air atau arus sungai mengalir kedataran bawah (hilir) yang disebut “Huliyaliyo”. Artinya, posisi “Tilayo” adalah hulu yang berada di atas ketinggian, dan “Huliyaliyo” adalah kawasan dataran rendah, arus sungai selalu mengalir dari atas kebawah. Biasanya, daerah hilir atau tanah dikawasan hilir selalu digenangi air yang terbukti hingga saat ini, ketika turun hujan maka dalam hitungan jam saja, Goorntalo sudah digenangi air yang membutuhkan waktu berjam-jema untuk surut. Dengan demikian, asal mula nama Gorontalo yang berasal dari “kata Hulontdalangi” mendekati kebenaran, jika menggunakan perspektif geografis wilayah Gorontalo yang menjadi dareah hilir sungai Bolango dan sungai Bone yang mebgalir dari kawasan ketinggian di wilayah Dulomayo Kec. Telaga Biru sekarang. Bahkan lebih dari itu, filosofi kepemimpinan di Gorontalo, jika diamati, spiritnya bersumber dari sifat sungai yakni daerah “hulu” disebut juga dengan istilah “Tauwa” yang digunakan untuk julukan para pemimpin puncak (olongia) yang disebut “Tauwa Lo Lipu” dibagian bawah hulu sungai (kawasan antara) disebut dengan “Buta’iyoyang dalam sistem kerajaan disebut dengan “Bubato” atau para abdi (aparat) kerajaan bagian hilir, disebut “huliyaliyo” yakni rakyat yang menjadi obyek dimana air dari hulu mengalir. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa Hulontdalo,Hulontdalo berasal dari kata “Huo Lolontdalango” artinya orang Gowa yang berjalan kian kemari. “Hulutalangi” yang berate mulia. “Hulua Lo Tola” artinya tempat pembiakan ikan Kabos (Gabus), “Pogolatalo atau Phulatalo” artinya tempat menunggu. Bahkan ada juga yang berpendapat bahwa Hulontalo adalah nama salah seorang kemenakan Raja tidore yang melarinkan diri dan terdampar di daerah ini. Pendapat lainnya mengenai asalmula nama Gorontalo juga di persepsikan berasal dari akat “gunung Telu” dari ucapan orang Gowa yang apabila memasuki pelabuhan Gorontalo melihat tiga buah gunung yang menonjol di dataran Gorontalo. Ada juga yang berpendapat bahwa Hulondtalangi berasal dari ungkapan perpindahan “orang-orang” yang sebelumnya hidup digunung-gunung(Huidu) mulai turun ke daratan yang masih digenangi air atau “ Ta Lontdo Huidu ode Huta U’langi-langi”. Pendapat ini mendekati kebenaran jika merujuk pada kondisi geografis Gorontalo yang dikelilingi oleh perbukitan atau pegunungan. Sumber : Ali Mobiliu (dalam bukunya yang berujudul MOMU’ATO, membuka tabir 1. Kisah Asal Mula Nama-nam Kampung Di Gorontalo)

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/faradilaalamri/tentang-asal-mula-nama-gorontalo_57e918c6799773e71a6eb264

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hubungi via :